Keamanan Aceh, Tanggung Jawab Semua Warga


Oleh: Harli A Muin

Kejadian kriminal hampir tiap hari kita baca di Surat Kabar Harian Aceh dan koran lokal di daerah ini, dengan berbagai bentuk. Kasus-kasus perampokan dengan modus menghancurkan kaca mobil, perompakan(pirate), peculikan lalu minta uang tebusan dan lainnya. Namun kekerasan dengan motivasi uang terlihat sangat dominan selama tiga bulan terakhir dan dilakukan dengan cara berkelompok , menggunakan alat seperti senjata api dan sepeda motor. Kejadian-kejadian itu tidak jarang mengakibatkan korban meninggal dunia.

Berbagai modus kriminal di Aceh sudah mencapai tahap yang memprihatinkan kita semua. Bila pembangunan di daerah ini dipacu lebih maju untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, elemen keamanan merupakan faktor kontribusi utama. Masyarakat Aceh telah merasakan pengalaman pahit hidup tiga puluh tahun lebih pada masa konflik kekerasan berkecamuk. Bila kita menerima keamanan sebagai satu syarat utama dalam pembangunan, dan masyarakat aceh telah menerima perdamaian sebagai sesuatu asasi seperti yang dituangkan dalam Peace Agreement dan implementasikan dalam UU No.11/2006. Implikasi penting yang harus dilakukan adalah:

Pertama, organisasi keamanan di daerah harus melakukan tindakan pencegahan, penyelidikan, penindakan dan menghukum terhadap kelompok atau individu yang coba menandingi monopoli negara dalam menggunakan kekuatan kekerasan untuk tujuan tertentu sesat dan mengabaikan norma umum. Di Indonesia, negara satu-satunya organisasi yang diberi kewenangan dalam menggunakan kekerasan dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan menjaga ketertiban masyarakat. Oleh karenanya, keamanan merupakan tanggung-jawab negara untuk menyediakan, mempromosikan, menindak dan melindungi kepentingan umum.  Maraknya penggunaan kekerasan dengan berbagai motif belakangan ini tidak boleh dilihat sebagai satu kejadian terpisah, ia merupakan upaya menghilangkan legitimasi aparat keamanan negara dihadap publik Aceh..

Kedua, bila keamanan adalah keharusan, maka keamanan harus diletakkan kedalam bagian dari pembangunan dan berjalan seiring. Pembangunan rekonstruksi harus diletakkan secara paralel, dimana pembangunan tidak menimbulkan efek efek sosial yang buruk dalam lingkungan dan masyarakat menikmati pembangunan dengan aman dan tanpa rasa takut. Dengan kata lain, negara harus membebaskan individu atau warga negara dari rasa takut dan bebas dari kesulitasn kebuthan pokok sebagai manifestasi dari pertumbuhan ekonomi sebagai satu proses yang membahagiakan.

Respon Kekerasan di Aceh

Bila kita membagi fase kekerasan di Aceh berdasarkan modus operandi dan motifnya, maka ada dua fase. Pertama, kekerasan sebelum Pemilihan Legislatif(Pileg) lebih didominasi dengan modus operandi peledakan bom, penembakan misterius, penghilangan orang, pembakaran simbol-simbol partai politik, kantor-kantor partai politik dan aktifis partai politik.

Diawali November 2008 menjelang dilaksanakannya Pemilu 2009,  digelar 9 April 2009 lalu. Modus kekerasan dilakukan dengan berbagai modus penculikan, misalnya penculikan bekas anggota Gerakan Aceh Merdeka(GAM) selama periode November tahun lalu  hingga awal April 2009 sebelum Peleg ditemukan  56 kekerasan dengan metode penculikan. Kerap kali penculikan diikuti oleh permintaan tebusan oleh para pelaku terhadap korban, pelakunya  menggunakan senjata organik berkelompok . Kekerasan ini hampir terjadi di semua wilayah di Aceh .

Kedua, kekerasan sesudah Pileg lebih dominan dilakukan dengan motif uang, dendam, dan lainnya. Ini dilakukan dengan modus  berkelompok, pencurian, memecahkan kaca mobil, perampokan, pembacokan, pembunuhan (kriminal). Dalam dua minggu terakhir di bulan Juli  2009, terdapat tidak kurang dari tiga kasus perampokan dan pencurian uang di dalam mobil dengan memecahkan kacanya. Sasarannya adalah bendahara di satu institusi pegawai negeri sipil, para Toke(tauke). Dengan kata lain sasarannya adalah orang-orang dan institusi yang memiliki uang.

Diluar dua modus diatas, kekerasan dalam bentuk protes karena ketidak-puasan terhadap proyek rekonstruksi, kompensasi (korban, kombatan dan lainnya) juga terus meningkat. Beberapa waktu lalu kantor BRA di Kabupaten Aceh Barat diobrak-abrik, protes terhadap aparat penegak hukum karena lamban menyelesaikan kasus korupsi di Aceh Tengah. . Tidak jarang protes ini berakhir dengan kekerasan, karena lamaran respon dari aparat penegak hukum

Dari tiga modus kekerasan diatas melahirkan respon aparat penegak hukum yang berbeda. Misalnya Polda Aceh, sampai sejauh ini 56 bentuk kekerasan yang ber-motif politik sebelum sebelum Pileg 2009 digelar belum ada informasi yang terang kepada publik di daerah ini, siapa pelakunya, apa motif yang sesungguhnya dari pelaku dan dari mana sumber bom serta  sumber-sumber senjata yang dipakai dalam penembakan. Respon yang sering kali muncul dari para pejabat keamanan di daerah adalah sudah mengantongi pelakunya dengan sebutan X, akan ditindak tegas, atau sebutan kabinghitam kepada pelaku.

Institusi penegak hukum lainnya, seperti kejaksaan dan kehakiman. Dua institusi penegak hukum selain Polisi, mereka memiliki kewenangan menuntut, mengadili dan memenjarakan para pelaku tindak kejahatan. Banyaknya protes dari di beberapa daerah menujukkan lembaga ini masih belum efektif dalam penegakkan hukum. Apalagi didbeberapa daerah kasus-kasus kejahatan masih bertumpuk, baik kejahatan terhadap keuangan negara, korupsi, kriminal. Penumpukan kasus-kasus itu, sama dengan menunda rasa adil seseorang atau kelompok anggota masyarakat yang membutuhkan rasa adil dan keadilan. Di sinilah letak seorang penegak hukum tidak hanya dituntut jadi tukang pasal demi pasal Undang Undang, namun hati nurani para penegak hukum harus dikedepankan bila mau memberi kontribusi penuh sebagai aktor negara dalam pembangunan dan keamanan.

Cegah Bom Waktu

Kejadian demi kejadian diatas merupakan bom waktu dan tinggal mencari  momentumnya dan meledak menjadi kekacauan sosial. Modus kekerasan diatas merupakan bagian dari momentum yang dapat digunakan para pelaku kekerasan untuk sebagai percepatan  meledakan kekerasan atau kerusuhan.

Apa lagi akar masalah konflik di daerah ini bisa dilihat dari tingginya angka kemiskinan dan pengangguran. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Aceh, angka kemiskinan dan  pengangguran di laporkan. Jumlah penduduk miskin sekitar 966.000 jiwa, atau mencapai 23% dari total 4,2 juta penduduk Aceh. Sementara  jumlah pengangguran sebanyak 378.000, atau mencapai 9,58% dari jumlah penduduk Aceh.  Data kemiskinan tingkat kabupaten menunjukkan bahwa wilayah-wilayah yang tingkat kemiskinannya tinggi merupakan daerah yang berada di pedalaman pedesaan dan kabupaten-kabupaten yang lebih terpencil, sementara wilayah-wilayah sekitar Banda Aceh memiliki tingkat kemiskinan paling rendah(Bank Dunia 2008).

Belum lagi masalah angka-angka itu, di tingkat pendesaan problem kemiskinan tidak hanya disebabkan oleh kurangnya stimulasi pembangunan dari pemerintah daerah dan bantuan para NGO yang bekerja di Aceh, tetapi masalah kemiskinan, juga disebabkan oleh ketimpangan kepemilikan sumber daya alam dan tanah. Banyak diantaranya komunitas di kampung miskin tanah dan tanah mulai terkonsentrasi disatu tangan orang. Jadi, problem pembangunan yang dilakukan para aktor hanya mengalamatkan pada pembangunan semata, sama sekali tidak melihat ketimpangan sebagai satu masalah di daerah ini. Padahal berapa pun banyaknya program pembangunan untuk menyelesaikan masalah kemiskinan, tanpa melihat ketimpangan struktur kepemilikan sumberdaya daya disatu sisi, pembangunan akan menjadi tidak efektif.

Kejadian diatas penting dilihat sebagai masalah sosial dan masalah kita. Bila diterima sebagai satu ancaman, maka para agenda pembangunan dan keamanan di daerah ini harus rela dan bersedia menjalankan konsekuensi.

Pertama, kepada aparat negara yang diberi kewenangan menjaga ketertiban, menegakkan hukum, dan menyediakan keamanan bagi warga Aceh hendaknya tidak merelakan monopoli negara terhadap kekerasan kepada warga sipil. Bila ini terjadi, maka kepercayaan dan kewibawaan aparat penegak hukum dan keamanan meningkat. Celakanya, implikasi berikutnya, penggunaan kekerasan  dengan berbagai tujuan sekelompok orang yang kemudian menciptakan  masyarakat brutalitas dan barbaris. Oleh karena itu, kasus-kasus kekerasan di Aceh yang terjadi belakangan ini tidak boleh dianggap sepele dan dipisahkan satu sama lainnya terhadap pembangunan di daerah ini.

Kedua, kepada pemerintah daerah, para aktor pembangunan di daerah ini baik pemerintah, Non Gormental Organisation (NGO, agen pembangunan Internasional hanya mengarahkan pembangunan kepada penyediaan infra-struktur, kucuran proyek-proyek ekonomi skala kecil, pelayanan kesehatan, pendidikan, pertanian dan lainnya, namun tidak melihat akar masalah kemiskinan yang terjadi di komunitas. Ini bisa dilihat dari berbagai laporan pembangunan di Aceh oleh agen pembangunan internasional, pemerintah dan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi-BRR Aceh-Nias. Padahal akar masalahnya bukan hanya terletak pada kemiskinan karena kekurangan pembangunan, tetapi ketimpangan kepemilikan sumber daya baik berupa kepemilikan tanah maupun sumber daya lainnya. Oleh karena itu sudah saat meletakkan pembangunan kedalam pendekatan multi dimensi, misalnya menyediakan tanah atau distribusi tanah bagi warga Aceh yang tidak memiliki tanah, supaya mereka bisa produktif.

Pada akhirnya, mari kita semua, keamanan  tidak cukup diatasi dengan pembangunan semata,  namun aksi penegakan hukum, aparat hukum yang responsif untuk menyelesaikan kasus per-kasus kekerasan sangat diharapkan. Selain itu, mari kita berpikir lebih luas dengan meletakkan keamanan sebagai  tanggung jawab semua warga negara semua lapisan masyarakat, sehingga saling  membantu untuk mengisi kelemahan dari sumber daya aparat keamanan negara , mengatasi jurang pemahaman antara aparat keamanan dan masyarakat mengenai keamanan dapat direduksi,  membatu mengurangi isu-isu ketidak-percayaan masyarakat terhadap aparat keamanan negara.***

3 comments

Leave a reply to harlimuin Cancel reply